Translate

Jumat, 23 Desember 2016

Kenapa Setya Novanto Bisa Menjabat Lagi Menjadi Ketua DPR?

P

Sumber gambar: tempo.co
astinya kamu-kamu ini udah tau dong kalau tanggal 30 November 2016 lalu Setya Novanto resmi kembali menjabat sebagai ketua DPR. Loh kenapa bisa ya? Padahal kasusnya kan masih diproses secara hukum di Kejaksaan. Nah, sebenarnya analisis mengenai hal ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Politik Hukum di kampus yang diberikan sekitar 2 minggu yang lalu oleh dosen andalan kelas VII/F-2 HTN, yaitu Pak Irwansyah, S.HI., MH.
     Saya sebenarnya sudah menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Akan tetapi, berhubung karena memang kelas HTN ini warbiyasak dan pemberi tugas lupa, tugas ini pun tak jadi dikumpul. Saya paham betul kalau saya mengingatkan ada tugas, saya mungkin akan dibakar hidup-hidup oleh teman sekelas saya wkwk. Membayangkan kemungkinan dibakarnya saya, mendadak saya menghayati makna kalimat “silence is gold” dan merasa bahwa saya perlu menerapkannya pada saat itu. Saya pun akhirnya tidak mengingatkan sang dosen. Ampuni saya ya pak L. Saya cuma gak mau babak belur dihajar massa.

Hmm.. Daripada analisis yang udah saya bikin sia-sia, mending di-share di sini aja deh ya...
Sumber gambar: pojoksulsel.com
Rasanya masih belum berlalu lama ketika Setya Novanto, ketua DPR terpilih untuk Periode 2014-2019, memutuskan untuk mengundurkan diri setelah ia terlibat dalam kasus pencatutan nama Presiden saat meminta saham pada PT. Freeport (dikenal dengan kasus “Papa Minta Saham”) Pengunduran diri Setya Novanto menyebabkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang pada saat itu tengah menyidangkan kasus tersebut mengeluarkan putusan sebagai berikut:

1.  Sidang MKD atas pengaduan Sudirman Said terhadap Setya Novanto atas dugaan pelanggaran kode etik dinyatakan ditutup karena DPR telah menerima surat pengunduran diri Setya Novanto.
2.     Terhitung sejak tanggal 16 Desember 2015, Setya Novanto dinyatakan berhenti sebagai Ketua DPR.
Dasar hukum yang menjadi dasar penutupan sidang adalah Pasal 9 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD yang berbunyi:
“Pengaduan pelanggaran terhadap anggota tidak dapat diproses jika Teradu meninggal dunia, telah mengundurkan diri, atau telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik."
Atas segala permasalahan yang menimpa Setya Novanto, Setya Novanto mengajukan judicial review tentang penyadapan. Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 20/PUU-XIII/2015 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap alat bukti elektronik yang menjadi alat bukti di pengadilan haruslah dipandang konstitusional apabila atas permintaan penegak hukum, karena jika tidak seperti itu akan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tentang privasi.
Dalam hal ini penyadapan tanpa perintah penegak hukum dinyatakan tidak sah menurut hukum, sehingga oleh karena Ma’roef Sjamsuddin (Dirut PT. Freeport) saat itu merekam pembicaraan secara diam-diam, maka alat bukti tersebut dipandang tidak sah, sehingga membawa efek domino yang menyebabkan tidak dapat dilanjutkannya kasus Setya Novanto ke Kejaksaan karena alat buktinya tidak sah.
Selanjutnya Setya Novanto juga melakukan judicial review tentang frasa “permufakatan jahat” yang ada di Pasal 15 UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Setya Novanto berpandangan bahwa “permufakatan jahat” dalam UU Tipikor bersifat multitafsir karena merujuk pada “permufakatan jahat” pada Pasal 88 KUHP. Hal ini dipandang bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 terkait dengan hak atas jaminan perlindungan diri, karena seseorang dianggap rentan untuk dipolisikan karena tidak ada kejelasan penafsiran itu.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa frasa “permufakatan jahat” bertentangan dengan UUD sepanjang tidak dimaknai “permufakatan jahat adalah bila 2 orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana.”, karena dalam melakukan tindak pidana korupsi, perlu kualitas yaitu suatu kondisi dimana seseorang memang mampu melakukan tindak pidana korupsi.
Setya Novanto dianggap tidak memenuhi kualifikasi “kualitas” karena dipandang tidak mempunyai wewenang memperpanjang kontrak PT. Freeport. Sehingga atas kasus Papa Minta Saham, unsur permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada Setya Novanto menjadi obscuur libel (kabur).
Atas kedua putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, proses atas kasus Setya Novanto pun berhenti karena alat bukti rekaman dianggap tidak sah serta unsur permufakatan jahat tidak terlihat. Kedua putusan Mahkamah Konstitusi ini pula yang menjadi dasar bagi Setya Novanto untuk mengajukan upaya rehabilitasi (pemulihan nama baik) pada MKD, sehingga pada akhirnya dalam rapat pleno atas upaya rehabilitasi tersebut, pada tanggal 27 September 2016, MKD DPR memulihkan nama baik Setya Novanto. Sehingga hal ini menjadi celah bagi Setya Novanto untuk dapat kembali menjadi Ketua DPR.
ANALISIS PERGANTIAN PIMPINAN DPR DARI ADE KOMARUDIN MENJADI SETYA NOVANTO
Terkait dengan pemilihan pimpinan DPR sendiri, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 jo. Pasal 28 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, dimana diatur mekanisme pemilihan pimpinan DPR yaitu sebagai berikut:
1.       Masing-masing fraksi mengusulkan 1 bakal calon pimpinan.
2.      Pimpinan DPR selanjutnya dipilih dengan cara musyawarah mufakat.
Sehingga atas mekanisme tersebut, terpilih seorang kader Golkar bernama Setya Novanto sehingga ia menjadi Ketua DPR hingga akhirnya ia mengundurkan diri karena serangkaian kasus yang telah dijelaskan dalam pendahuluan. Setya Novanto kemudian digantikan oleh Ade Komarudin.
Fraksi Golkar mengajukan kembali nama Setya Novanto menjadi Ketua DPR karena berlindung di balik ketentuan Pasal 35 Peraturan Tata Tertib DPR yang menyatakan bahwa dalam hal pimpinan DPR tidak terbukti melakukan tindak pidana, maka pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR. Pasal ini menjadi alasan pembenar bagi Partai Golkar untuk mengembalikan Setya Novanto pada singgasana awalnya sebagai Ketua DPR.
Ahli hukum pidana dari UII Yogyakarta, yaitu Mudzakkir, menyatakan bahwa mustahil Kejagung dapat melanjutkan kasus Setya Novanto karena bukti yang dimiliki Kejagung nihil, dan berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XIV/2016, unsur permufakatan jahat tidak terpenuhi. Prof. Andi Hamzah juga berpendapat bahwa jika dijerat dengan pasal permufakatan jahat, malah jadi tidak terpenuhi unsurnya. Jadi, karena memang kasus Setya Novanto diam di tempat maka Setya Novanto dianggap DPR tidak terbukti melakukan tindak pidana dan dapat kembali menjadi ketua DPR.
Akan tetapi, untuk mengembalikan Setya Novanto sebagai ketua DPR, Fraksi Golkar harus mengikuti aturan main yang ada dalam Pasal 34 Peraturan Tata Tertib DPR yang menyatakan bahwa Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan. Oleh karena itu, Fraksi Golkar meminta Ade Komarudin untuk mengundurkan diri, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Peraturan Tata Tertib DPR, partai politik yang bersangkutan (yaitu Golkar) dapat mengajukan nama untuk mengganti pimpinan DPR (dalam hal ini yang diajukan adalah Setya Novanto). Pengajuan nama Setya Novanto dilakukan oleh Aburizal Bakrie selaku Ketua Dewan Pimpinan Partai Golkar untuk memenuhi ketentuan Pasal 25 AD/ART Partai Golkar pada KEPUTUSAN NOMOR: VI/MUNASLUB/GOLKAR/2016 yang menyatakan bahwa Dewan Pembina berwenang menentukan kebijakan stretegis (salah satunya untuk menentukan pimpinan lembaga negara). Dengan semua taktik politik tadi, tanggal 30 November 2016 pada akhirnya Setya Novanto pun resmi kembali menjabat menjadi Ketua DPR.
Menurut Refly Harun selaku pakar hukum tata negara, Setya Novanto dari segi etika dan kepantasan seharusnya tidak dapat diajukan lagi menjadi Ketua DPR, karena secara riil Setya Novanto telah melanggar kode etik. Setya Novanto bisa kembali menjabat karena adanya permainan politik yang rapi dan apik dengan memanfaatkan celah hukum yang ada (yaitu Pasal 35 Peraturan Tatib DPR).


Jadi, sebenarnya apakah ada supremasi politik di atas supremasi hukum? Tidak. Tidak ada supremasi politik yang mampu mengalahkan supremasi hukum jika dikaji dari konsep negara hukum. Hanya saja dalam kasus ini, politik mampu bergerak lebih gesit dan licin sehingga menimbulkan interpretasi seolah supremasi politik kedudukannya jauh di atas supremasi hukum.