P
|
astinya kamu-kamu ini udah tau dong
kalau tanggal 30 November 2016 lalu Setya Novanto resmi kembali menjabat
sebagai ketua DPR. Loh kenapa bisa ya? Padahal kasusnya kan masih diproses
secara hukum di Kejaksaan. Nah, sebenarnya analisis mengenai hal ini merupakan
salah satu tugas mata kuliah Politik Hukum di kampus yang diberikan sekitar 2
minggu yang lalu oleh dosen andalan kelas VII/F-2 HTN, yaitu Pak Irwansyah,
S.HI., MH.
Saya
sebenarnya sudah menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Akan tetapi, berhubung
karena memang kelas HTN ini warbiyasak
dan pemberi tugas lupa, tugas ini pun tak jadi dikumpul. Saya paham betul kalau
saya mengingatkan ada tugas, saya mungkin akan dibakar hidup-hidup oleh teman
sekelas saya wkwk. Membayangkan kemungkinan dibakarnya saya, mendadak saya
menghayati makna kalimat “silence is gold”
dan merasa bahwa saya perlu menerapkannya pada saat itu. Saya pun akhirnya
tidak mengingatkan sang dosen. Ampuni saya ya pak L. Saya cuma gak mau babak belur
dihajar massa.
Hmm..
Daripada analisis yang udah saya bikin sia-sia, mending di-share di sini aja deh ya...
Sumber gambar: pojoksulsel.com |
Rasanya masih belum berlalu lama ketika
Setya Novanto, ketua DPR terpilih untuk Periode 2014-2019, memutuskan untuk
mengundurkan diri setelah ia terlibat dalam kasus pencatutan nama Presiden saat
meminta saham pada PT. Freeport (dikenal dengan kasus “Papa Minta Saham”)
Pengunduran diri Setya Novanto menyebabkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang
pada saat itu tengah menyidangkan kasus tersebut mengeluarkan putusan sebagai
berikut:
1. Sidang MKD atas pengaduan Sudirman Said
terhadap Setya Novanto atas dugaan pelanggaran kode etik dinyatakan ditutup
karena DPR telah menerima surat pengunduran diri Setya Novanto.
2. Terhitung sejak tanggal 16 Desember 2015,
Setya Novanto dinyatakan berhenti sebagai Ketua DPR.
Dasar hukum yang menjadi dasar penutupan
sidang adalah Pasal 9 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara
MKD yang berbunyi:
“Pengaduan pelanggaran terhadap anggota
tidak dapat diproses jika Teradu meninggal dunia, telah mengundurkan diri, atau
telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik."
Atas segala
permasalahan yang menimpa Setya Novanto, Setya Novanto mengajukan judicial review tentang penyadapan. Pada
akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan
Nomor 20/PUU-XIII/2015 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap alat bukti
elektronik yang menjadi alat bukti di pengadilan haruslah dipandang
konstitusional apabila atas permintaan penegak hukum, karena jika tidak
seperti itu akan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tentang
privasi.
Dalam hal
ini penyadapan tanpa perintah penegak hukum dinyatakan tidak sah menurut hukum,
sehingga oleh karena Ma’roef Sjamsuddin (Dirut PT. Freeport) saat itu merekam
pembicaraan secara diam-diam, maka alat bukti tersebut dipandang tidak sah,
sehingga membawa efek domino yang menyebabkan tidak dapat dilanjutkannya kasus
Setya Novanto ke Kejaksaan karena alat buktinya tidak sah.
Selanjutnya
Setya Novanto juga melakukan judicial
review tentang frasa “permufakatan jahat” yang ada di Pasal 15 UU Nomor
20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Setya Novanto berpandangan bahwa
“permufakatan jahat” dalam UU Tipikor bersifat multitafsir karena merujuk pada
“permufakatan jahat” pada Pasal 88 KUHP. Hal ini dipandang bertentangan dengan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 terkait dengan hak atas jaminan perlindungan diri,
karena seseorang dianggap rentan untuk dipolisikan karena tidak ada kejelasan
penafsiran itu.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa frasa “permufakatan
jahat” bertentangan dengan UUD sepanjang tidak dimaknai “permufakatan jahat
adalah bila 2 orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling
bersepakat melakukan tindak pidana.”, karena dalam melakukan tindak pidana
korupsi, perlu kualitas yaitu suatu kondisi dimana seseorang memang mampu
melakukan tindak pidana korupsi.
Setya
Novanto dianggap tidak memenuhi kualifikasi “kualitas” karena dipandang tidak
mempunyai wewenang memperpanjang kontrak PT. Freeport. Sehingga atas kasus Papa
Minta Saham, unsur permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
yang dituduhkan kepada Setya Novanto menjadi obscuur libel (kabur).
Atas kedua
putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, proses
atas kasus Setya Novanto pun berhenti karena alat bukti rekaman dianggap tidak sah
serta unsur permufakatan jahat tidak terlihat. Kedua putusan Mahkamah
Konstitusi ini pula yang menjadi dasar bagi Setya Novanto untuk mengajukan
upaya rehabilitasi (pemulihan nama baik) pada MKD, sehingga pada akhirnya dalam
rapat pleno atas upaya rehabilitasi tersebut, pada tanggal 27 September 2016,
MKD DPR memulihkan nama baik Setya Novanto. Sehingga hal ini menjadi celah bagi
Setya Novanto untuk dapat kembali menjadi Ketua DPR.
ANALISIS
PERGANTIAN PIMPINAN DPR DARI ADE KOMARUDIN MENJADI SETYA NOVANTO
Terkait
dengan pemilihan pimpinan DPR sendiri, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3
jo. Pasal 28 Peraturan DPR RI Nomor 1
Tahun 2014 tentang Tata Tertib, dimana diatur mekanisme pemilihan pimpinan
DPR yaitu sebagai berikut:
1. Masing-masing fraksi mengusulkan 1 bakal
calon pimpinan.
2. Pimpinan DPR selanjutnya dipilih dengan
cara musyawarah mufakat.
Sehingga
atas mekanisme tersebut, terpilih seorang kader Golkar bernama Setya Novanto
sehingga ia menjadi Ketua DPR hingga akhirnya ia mengundurkan diri karena
serangkaian kasus yang telah dijelaskan dalam pendahuluan. Setya Novanto
kemudian digantikan oleh Ade Komarudin.
Fraksi
Golkar mengajukan kembali nama Setya Novanto menjadi Ketua DPR karena berlindung
di balik ketentuan Pasal 35 Peraturan
Tata Tertib DPR yang menyatakan bahwa dalam hal pimpinan DPR tidak terbukti
melakukan tindak pidana, maka pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan
kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR. Pasal ini menjadi alasan pembenar bagi
Partai Golkar untuk mengembalikan Setya Novanto pada singgasana awalnya sebagai
Ketua DPR.
Ahli hukum
pidana dari UII Yogyakarta, yaitu Mudzakkir, menyatakan bahwa mustahil Kejagung
dapat melanjutkan kasus Setya Novanto karena bukti yang dimiliki Kejagung
nihil, dan berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XIV/2016, unsur permufakatan jahat
tidak terpenuhi. Prof. Andi Hamzah juga berpendapat bahwa jika dijerat dengan
pasal permufakatan jahat, malah jadi tidak terpenuhi unsurnya. Jadi, karena
memang kasus Setya Novanto diam di tempat maka Setya Novanto dianggap DPR tidak
terbukti melakukan tindak pidana dan dapat kembali menjadi ketua DPR.
Akan tetapi,
untuk mengembalikan Setya Novanto sebagai ketua DPR, Fraksi Golkar harus
mengikuti aturan main yang ada dalam Pasal
34 Peraturan Tata Tertib DPR yang menyatakan bahwa Pimpinan DPR berhenti
dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan.
Oleh karena itu, Fraksi Golkar meminta Ade Komarudin untuk mengundurkan diri,
sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal
46 Peraturan Tata Tertib DPR, partai politik yang bersangkutan (yaitu
Golkar) dapat mengajukan nama untuk mengganti pimpinan DPR (dalam hal ini yang
diajukan adalah Setya Novanto). Pengajuan nama Setya Novanto dilakukan oleh
Aburizal Bakrie selaku Ketua Dewan Pimpinan Partai Golkar untuk memenuhi
ketentuan Pasal 25 AD/ART Partai Golkar
pada KEPUTUSAN NOMOR:
VI/MUNASLUB/GOLKAR/2016 yang menyatakan bahwa Dewan Pembina berwenang
menentukan kebijakan stretegis (salah satunya untuk menentukan pimpinan lembaga
negara). Dengan semua taktik politik tadi, tanggal 30 November 2016 pada
akhirnya Setya Novanto pun resmi kembali menjabat menjadi Ketua DPR.
Menurut
Refly Harun selaku pakar hukum tata negara, Setya Novanto dari segi etika dan
kepantasan seharusnya tidak dapat diajukan lagi menjadi Ketua DPR, karena
secara riil Setya Novanto telah melanggar kode etik. Setya Novanto bisa kembali
menjabat karena adanya permainan politik yang rapi dan apik dengan memanfaatkan
celah hukum yang ada (yaitu Pasal 35 Peraturan Tatib DPR).
Jadi, sebenarnya apakah
ada supremasi politik di atas supremasi hukum? Tidak. Tidak ada supremasi
politik yang mampu mengalahkan supremasi hukum jika dikaji dari konsep negara
hukum. Hanya saja dalam kasus ini, politik mampu bergerak lebih gesit dan licin
sehingga menimbulkan interpretasi seolah supremasi politik kedudukannya jauh di
atas supremasi hukum.